Kamis, 30 Maret 2022
21.45 WIB
Hari ini, aku mau cerita. Sebenarnya bukan hari ini aja. Tapi udah lamaaa banget aku pengen cerita ke blog. Cuma, saking banyaknya hal yang mau aku tulis aku jadi bingung sendiri dan akhirnya gajadi cerita.
Namun, malam ini, aku akan memulai pelan - pelan, menceritakan isi pikiranku.
Baik. Aku yakin, setiap insan, lahir ke dunia dengan tantangannya masing - masing. Begitu juga aku sebagai manusia. Tapi, mungkin sepertinya aku kurang sabar, pernah aku terbesit, kenapa sih hidup aku begini, kenapa sih aku ‘jadi aku yang seperti ini’, kenapa sih aku harus mengalami a b c d e.
Mungkin, salah duanya kenapa sih aku pernah disakiti orang lain, dibenci, dibully dan kenapa sih aku ini ‘kekurangan’ entah apa aja, pokoknya ada saja aku lihat sisi kurang dari diriku dalam hal apapun.
Dari masalah yang sudah aku spill maupun tidak, aku merasa kok dunia jahat banget sih. Ya memang jahat, mana ada orang dilukai perasaannya misalnya terus dia bilang “oh indahnya dunia ini”. Kalo iya, mungkin dia ada kelainan psikologis.
Tapi ternyata, aku baru sadar, memang dunia ini ada pahitnya, tapi aku selama ini hanya melihat dalam kacamata yang kurang pas, mungkin kacamata kuda.
Mmm, maksudnya, aku dulu merasa hal - hal pahit sebagai yaudah pahit. Padahal kopi itu enak karena pahit dan dinikmati karena pahit. Pare enak juga karena pahit, (maaf yang bukan tim pare). Nggak aku bukan ngomong kopi atau pare. Tapi, aku dulu tidak melihat sesuatu yang aku anggap masalah itu dalam kacamata lain, sehingga hal itu jadi masalah.
Misal, mau ngelas, aku malah pake kacamata renang, bukannya pake kacamata las, tentu kegiatan ngelas aku akan jadi ‘masalah’, karena aku tidak melihat dalam kacamata yang nyaman untuk kegiatan tersebut, kacamata yang seharusnya membantu aku melakukan kegiatan, kacamata yang ketika dipake, aku menjalani kegiatan ngelas bukan sebagai masalah apalagi nyari mati.
Aku sejak pandemi, maaf alur mundur dulu, aku pelan - pelan mencari substansi dari apa yang terjadi kepada diriku. Pelan. Itu juga hanya satu dua hal.
Waktu berjalan, aku masih menyimpan luka dan emosi negatif tentang diriku maupun orang lain. Satu persatu, aku menyingkap esensi kejadian yang aku alami.
Aku nggak kebayang kalau aku tidak mengalami dan mendapatkan hal - hal yang aku anggap masalah atau hal yang aku anggap kurang. Mungkin aku bakal jadi, monster.
Kalau aku, nggak pernah disakiti atau dibenci orang lain, mungkin aku nggak akan melakukan refleksi. Dari refleksi aku bisa menyadari, kalau aku itu tumbuh sebagai manusia juga membawa hal kurang menyenangkan yang berpotensi ngetrigger orang lain untuk melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada aku. “Loh bukannya ini jadi kekurangan yang seharusnya bikin makin down?”
Entah ya, proses yang aku alami, memang sedih waktu aku nyadar atas hasil analisis refleksi diri itu. Tapi, dari merasa kekurangan itu, aku jadi malu buat merasa lebih baik dari orang. Andai aku, tidak mengalami perundungan atau tidak mengalami dibenci oleh orang lain, aku pasti lama - kelamaan bakal jadi orang yang sombong, aku lambat laun bakal merasa “aku yang paling baik”, karena gak bisa dipungkiri perilaku sosial orang lain kadang menjadi tolak ukur untuk menilai diri sendiri.
Selain rasa malu untuk jadi sombong, esensi berikutnya adalah aku jadi menemukan kedamaian. Karena, ketika aku sadar aku makhluk yang banyak kurang, aku jadi curhat ke Tuhan. Jujur di tahap ini ceritanya semakin terasa klise, tapi percayalah, feels nya beda waktu aku sadar sendiri. Curhat ke Tuhan, mengakui salah dan kekurangan enak juga. Damai. Jadi lebih tenang.
Melalui kejadian menerima perilaku sosial yang kurang nyaman, aku jadi lebih ngeh sama kebaikan dan keromantisan Tuhan. Karena Tuhan itu baik, dia ngasih aku hujan karena dia mau nunjukin aku pelangi. Dan aku juga pernah minta pelangi ke Tuhan, tapi gimana bisa aku minta pelangi tanpa mendung dan hujan. Belum sampe terjadi pelangi, saat terjadi hujan pun Tuhan sudah berfirman dan diulangi, beserta kesulitan ada kemudahan. Kayak double baiknya lho Tuhan itu.
Dari rasa terluka yang aku dapatkan dari manusia, aku itu jadi nyadar dar dar, kalau Tuhan itu baik. Aku berbuat baik sama manusia belum tentu dibalas. Apalagi aku berbuat salah sama manusia, bisa dihajar habis - habisan, atau belum ngapa - ngapain baru bernafas aja udah salah di mata manusia, tapi beda sama Tuhan yang selalu penuh maaf dan kasih sayang. Aku ngelakuin hal yang kurang baik, aku masih dikasih nikmat yang gak akan aku dapatkan sedikitpun apabila tanpa izin Dia. Apalagi aku ngelakuin hal yang Tuhan suka, sesuai perintah Tuhan, dibalas lebih baik sama Tuhan malah.
Dari pengalaman dilukai sama manusia, aku juga jadi sadar, kalau tempat aku kembali cuma Tuhan. Tempat aku bergantung cuma Tuhan. Yang paling baik itu hanya Tuhan.
Klise yah. Intinya, masalah itu membawa aku ke perjalanan spiritual, yang menurut aku indah dan nyaman.
Selanjutnya, kalau aku nggak merasa kurang akan diriku, mungkin aku gak semudah itu menemukan jalan bersyukur. Aku akan jadi orang yang terus merasa kurang puas. Dan merasa biasa - biasa aja sama hal yang susah - susah orang lain dapatkan, yang jadi impian orang lain, sedangkan di aku, udah ada tanpa susah payah atau dapet aja gitu dengan lebih mudah. Aku kalau nggak dikasih kekurangan, mungkin aku bakal buta total sama hal - hal yang seharusnya aku hargai. Waktu aku merasa kekuranganku itu, aku cukup kepikiran dan merasa tidak cukup bahagia. Sampe di titik klise lagi, mungkin aku itu di uji dari merasa kekurangannya itu.
Ternyata, aku itu hanya butuh sesederhana merasa cukup, dampaknya gede banget, bahagia. Seperti merasa plong, lega dan merasa biasa aja sama hal yang aku sebelumnya merasa pusing.
Jikalau aku nggak merasa dan mendapatkan kekurangan, aku mungkin akan remeh ke banyak hal dan mungkin aku bakal sombong banget. Aku mungkin nggak bakal tau kalau merasa cukup itu lebih enak daripada merasa lebih yang hepinya hanya sebentar yang kemudian merasa biasa aja lagi dan kembali kurang puas.
Dari kekurangan itu, aku jadi lebih menumbuhkan empati ke orang lain. Dan sama kayak cerita sebelumnya, dari merasa dan mendapatkan kekurangan aku jadi ditampar bahwa aku itu sangat tidak layak untuk merasa sombong.
Kalau nggak dari kekurangan aku mungkin sulit bersyukur sama hal - hal lain, dan sulit merasa lebih santuy ngejalani hidup. Kekurangan, rasa syukur, merasa cukup, jadi nggak sesedih waktu kurang bersyukur. Dan saat aku merasa cukup sama kekuranganku, aku nggak lagi melihat itu jadi masalah besar yang bikin stress, jadi yaudah biasa aja, tetep enjoy.
Karena ketika merasa cukup, aku tidak melihat hal tersebut jadi sesuatu yang kurang, melainkan sebagai hal yang kadarnya pas untuk seorang aku yang apabila lebih mungkin itu akan membawa keburukan yang nggak aku tahu.
Semisalnya, aku dikasih ibu 2 gorengan sedangkan adik aku dikasih 4, awalnya aku merasa itu nggak adil, aku kecewa karena aku dapetnya dikit, waktu makan ternyata dengan 2 gorengan itu aku udah kenyang, karena kesal aku nambah 2 lagi eh aku jadi kekenyangan yang bikin perut sakit, sedangkan adik aku ternyata punya muatan perut yang lebih besar dan setelah makan dia mengeluarkan tenaga lebih banyak dari aku, jadi porsi 4 dia adalah porsi yang pas, tidak kekurangan dan tidak membuat dia kekenyangan.
Kurang diatas mungkin tentang jumlah, untuk kekurangan dalam bentuk yang tidak jumlah mungkin seperti misalnya aku tidak memiliki tas yang desainnya bagus (keindahan subjektif dan tidak dilihat dalam jumlah). Aku insecure dan marah. Aku kecewa sama Tuhan. Kemudian aku minta diberi tas yang desainnya bagus padahal tas aku sebelumnya layak pakai. Berkali - kali aku minta tas yang bagus. Kemudian Tuhan mengabulkan doaku dan aku mendapat tas yang desainnya cantik. Namun, setelah mendapatkan tas yang indah tersebut aku jadi pamer ke teman - temanku, karena kurang nyaman dengan sifatku yang pamer, akhirnya orang - orang melabeli aku sebagai orang yang kurang baik dan lambat laun aku dijauhi, udah di dalam agama perilaku pamer kurang baik, di dunia dapet label gak baik juga.
Jadi, apa yang aku anggap kurang mungkin sebenarnya adalah takaran yang pas untuk aku, baik untuk kebaikan diri aku di dunia maupun bekal mati aku. Mungkin itulah batas aman untuk diriku. Namun, dari contoh itu aku bukan bermaksud bahwa manusia tidak pantas berusaha dan hanya perlu meratapi nasib, tapi fokusnya di rasa cukupnya, yang ketika udah berusaha tapi hasilnya tidak sesuai ekspektasi yang tinggi.
Klise lagi, ternyata, masalah - masalahku yang sebelumnya aku anggap masalah, ternyata perlu aku lihat dalam kacamata spiritual. Makna secara spiritual yang mungkin sebenarnya lebih dalam lagi namun tidak aku ungkapkan disini. Dengan kacamata spiritual, aku merasa lebih tenang dan lebih siap. Dan saat aku melihat sesuatu tapi hati aku tenang - tenang aja, itu artinya hal tersebut nggak jadi masalah. Karena ada hal yang nyata karena ia bersifat fisik, dan ada juga hal yang dikarenakan oleh sudut pandang dan perasaan dari dalam diri menciptakan realitas yang kita jalani.
insecure atau "rasa ingin diakui" oleh orang lain , aku rasa wajar terjadi di beberapa orang.
ReplyDeleteAku sendiri juga perna merasa insecure, tapi aku coba "bangkit" lagi, dengan berpikir positif dan kalau perlu ga usah dipikir apa yang orang lain pikir
tunjukkan kalau aku bisa lebih dari itu dan punya kelebihan yang lain